POTENSI IKAN KERAPU (Epinephelus lanceolatus) DALAM MENINGKATKAN
PEREKONOMIAN MASYARAKAT PESISIR NELAYAN
DI KABUPATEN KOLAKA
Oleh :
Abdul Asis Kahar
B1A329008
Program Studi Perikanan
Fakultas Pertanian
Universitas 19 November Kolaka 2012
1. PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sumberdaya perikanan dan kelautan adalah salah satu sumberdaya alam yang
merupakan aset negara dan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi
kesejahteraan suatu bangsa termasuk Indonesia. Sebagai negara maritim yang terdiri dari
ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke, Indonesia memiliki
potensi sumberdaya perikanan dan kelautan cukup besar dengan garis pantai yang
terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, memiliki lebih kurang 17.508 buah pulau dan
luas perairan sekitar 5,9 juta km2 serta potensi lestari sumberdaya perikanan laut
Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per tahun. Dari potensi tersebut, jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebesar 5,12 juta ton per tahun atau sekitar 80% dari
potensi lestari.
Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya ekosistem terumbu karang yang
memiliki nilai ekonomis tinggi. Nilai jual ukuran konsumsi dalam kondisi hidup yaitu
US$ 50/kg, di ekspor ke beberapa Negara seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan,
China, Malaysia, dan Amerika Serikat. Di pasar domestik ikan kerapu ukuran ikan hias
(4-5 cm) dijual dengan harga Rp. 7.000,- per ekor sedangkan ditingkat nelayan saat ini
Rp. 70.000 – 150.000 per kg hidup, untuk spesies tertentu yang langka bias dihargai jauh
lebih mahal (Akbar dan Sudaryanto, 2000).
Perdagangan ikan kerapu di Indonesia berkembang dengan cepat pada
pertengahan tahun 1990-an dimana jumlah ekspor pada tahun 1989 sebesar 300 ton
kemudian meningkat pada tahun 1995 menjadi 3.800 ton (DKP 2003). Berdasarkan data
dirjen P2HP menyebutkan ekspor kerapu pada tahun 2008 mencapai 6.340 ton. Menurut
infortir yang berbasis di Hongkong, Indonesia menyuplai lebih dari 50% tangkapan ikan
karang hidup ke Hongkong dan Singapura (Johannes dan Riepen, 1995).
Permintaan yanng tinnggi mengakibatkan ikan kerapu mengalami tekanan yang
cukup berat dan bebebrapa wilayah didunia telah mengalami over fishing (Musick et al,
2000). Dalam daftar The International Union for the Consefation of Nature and Natural
Receurces (IUCN) ikan kerapu termasuk dalam spesies yang terancam punah. Hasil
penelitian di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Sari (2006), melaporkan bahwa di
Kepulauan Seribu pemanfaatan sumber daya ikan kerapu telah melebihi tingkat
pemanfaatan optimal yang disarankan (29.940 kg/tahun). Hal yang sama diperoleh di
perairan Teluk Lasongko Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara dimana tingkat
pemanfaatannya telah melebihi kondisi optimal > 0,5 (Prasetya 2010). Umumnya
perikanann kerapu di Indonesia (Jawa, Sumatera dan Sulawesi) telah mengalami tekanan
sumber daya yang tinggi menunjukkan tanda-tanda signifikan dari over eksploitasi, hal
ini disebabkan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat (Soede et al., 1999).
Sementara untuk kegiatan perikanan tangkap kerapu sunu di Kabupaten Kolaka dari
tahun 2005-2009 mengalami penurunan produksi (DKP Kabupaten Kolaka 2009).
Masyarakat pesisir di Kabupaten Kolaka telah lama memanfaatkan kerapu sunu
(Plectropomus leopardus) sebagai sumber pangan dan pendapatan dengan penangkapan
intensif seiring nilai jual yang tinggi berkisar Rp. 60.000 – 150.000 per kg (DKP
Kabupaten Kolaka, 2009). Hal ini akan mengakibatkan terjadinya tekanan pada
sumberdaya di stok lokal meningkat dan dalam beberapa kasus dapat menyebabkan over
fishing (Zeller et al., 2008). Dalam melakukan pengolahan dibutuhkan analisis suatu stok
dan untuk membuat langkah-langkah manajemen yang dapat memerlukan informasi
dasar ilmian yang kuat (Lucero dan Sanchez, 2009). Berdasarkan hal tersebut di perlukan
adanya kajian mengenai stok sumberdaya ikan kerapu sunu di Perairan Kbupaten Kolaka
agar tidak terjadi over eksploitasi.
1.2.Rumusan Masalah
Kabupaten Kolaka merupakan pintu gerbang bagian barat Sulawesi Tenggara
dengan luas wilayah ± 6.918,38 km², terdapat 20 Kecamatan, 10 diantaranya terletak
pada wilayah pesisir. Luas laut 15.000 km² dengan panjang garis pantai 295.875 km yang
terbentang dari Kolaka Utara sampai Kolaka bagian Selatan. Jumlah penduduk wilayah
ini keseluruhan sebanyak 243,246 jiwa, yang bermukim di wilayah pesisir sebanyak
74.882 jiwa (DKP, 2009). Bedasarkan hal tersebut Kabupaten Kolaka dapat
dikategorikan sebagai Kabupaten pesisir namun, pengolahan sumberdaya perikanan
belum dilakukan secara maksimal, kurangnya pengawasan dan pengendalian sumber
daya akan mengakibatkan penurunan stok ikan. Salah satu sumberdaya yang
dimanfaatkan oleh masyarakat dikawasan ini adalah budidaya ikan kerapu.
Hasil laporan dinas perikanan Kabupaten Kolaka tahun 2009 produksi komoditi
perikanan tangkap kerapu mengalami penurunan. Tahun 2005 sebanyak 520,7 ton
meningkat 1112,4 ton di tahun 2008 dan kemudian menurun 940,7 ton di tahun 2009,
penambahan jumlah effort secara langsung akan memberikan tekanan terhadap sumber
daya dan ekosistem, dampak nyata yang ditimbulkan dalam kurun waktu tertentu akan
terjadi penurunan biomassa atau stok disebabkan menurunnya daya dukung lingkungan
yang berdampak pada berkurangnya sumber makan dan ruang habitat. Penurunan jumlah
hasil tangkapan dan ukuran serta perubahan fishing ground merupakan bukti terjadinya
tekanan terhadap sumber daya tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka yang
ingin dikaji adalah memberikan saran tentang pengolahan stok sumber daya dan
pengadaan bibit ikan kerapu yang berkelanjutan di perairan Kabupaten Kolaka, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Kerapu Sunu
Ikan kerapu hidup pada perairan tropis dan sub tropis di ekosistem terumbu
karang, perairan berlumpur dan hutan bakau termasuk dalam family Serranidae, di dunia
internasional dikenal dengan nama grouper, trout, rockcod, hinds, sea basses dan coral
reef fish. Terdapat 15 genus dan mencakup 159 spesies (Trucker, 1999). Genus
Cromileptes, Plectropomus dan Epinephelus merupakan 3 genus komersial yang telah
berhasil dibudidayakan (Ahmad, 2002). Tersebar luas di Fasifik Barat mulai Jepang
bagian Selatan sampai pulau Guam, Kaledonia Baru, Kepulauan Australia bagian Selatan
serta laut India bagian Timur. Di Indonesia banyak ditemukan diwilayah Perairan Teluk
Banten, Ujung Kulon, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa,
Madura, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara (Heemstra dan Radal, 1993).
Beberapa jenis kerapu telah diidentifikasi berdasar pada morfologi yang berbedabeda
tiap jenisnya termasuk bentuk tubuh, ukuran sirip, bentuk dan ukuran kepala,
jumlah jari-jari sirip, gurat sisik dan gill raker. Beberapa jenis kerapu dewasa dengan
ukuran besar, pola pewarnaan cukup untuk membedakan spesies tertentu, untuk spesies
yang hidup diperairan dalam memiliki pola pewarnaan lebih kemerahan dibanding
spesies yang tertangkap diperairan dangkal. Jenis kerapu yang diidentifikasi diantaranya
kerapu sunu yaitu ikan yang memanjang tegap, kepala dan badan serta bagian tengah dari
sirip berwarna abu-abu kehijau-hijauan, cokelat, merah, atau jingga kemerahan dan
bintik-bintik biru yang berwarna gelap pada pinggirnya. Bintik-bintik pada kepala dan
bagian depan badan sebesar diameter bola matanya atau lebih besar. Bentuk ujung sirip
ekor kerapu sunu rata, ujung sirip tersebut terdapat garis putih adapun pada sirip
punggung terdapat duri sebanyak 7-8 buah. Laju pertumbuhan kerapu sunu bervariasi
menurut kelas umurnya. Menjelang dewasa, ikan ini tergolong jenis ikan predator yang
memangsa ikan-ikan kecil, udang, dan cumi-cumi.
Ikan ini termasuk hermaprhodite protogynous, artinya pada awal masa hidupnya
secara seksual berstatus ikan betina, kemudian berubah menjadi jantan setelah mencapai
ukuran tertentu (Effendie, 2002). Perubahan kelamin terjadi pada saat panjang total ikan
berukuran antara 23-62 cm atau panjang total rata-rata 42 cm, memiliki berat 2,5 kg dan
untuk mencapai dewasa membutuhkan waktu 2-3 tahun dengan betina berukuran 1,5 –
2,5 kg dan jantan berukuran lebih besar dari 2,5 kg, merupakan salah satu ikan yang
memiliki pertumbuhan lambat (Elevati dan Aditya, 2001). Kerapu sunu merupakan
komoditas ekspor yang harganya cukup tinggi, dua jenis ikan kerapu sunu yang berharga
tinggi dan terdapat di Indonesia yaitu P. leopardus (leopard corraltrout) dan P.
maculatus (barred cheek corral trout). Spesies kerapu dari genus Plectrocopomus yang
dapat dibudidayakan dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi adalah ikan kerapu sunuk
atau kerapu merah (Plectrocopomus leopardus) harga jenis leopardus hidup dilaporkan
mencapai sekitar US$ 30/kg pada tahun 2006. Permintaan pasar dalam keadaan hidup
sangat tinggi baik di dalam maupun diluar negeri, jenis ini banyak dibudidayakan karena
pertumbuhannya lebih cepat daripada jenis ikan kerapau lainnya dan benihnya selain
diperoleh dari alam (penangkapan) juga sudah dapat diadakan dengan cara pemijahan
dalam bak atau kolam.
Larva dan ikan kerapu muda hidup diperairan pantai dengan dasar pasir berkarang
atau padang lamun dengan kedalaman 0,5 – 3,0 m, telur dan larva bersifat pelagis
sedangkan yang muda dan dewasa bersifat demersal dan beruaya ke parairan dengan
kedalamann 7 – 40 m yang terjadi pada siang dan sore hari (Tampubolon dan Mulyadi,
1989). Beberapa spesies hidup pada kedalaman 100 – 200 m, bahkan sampai kedalaman
500 m, tetapi umumnya ikan kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m (Philip dan
Radal, 1993). Perairan dengan parameter lingkungan yang umum yaitu temperatur 24 -
31°C, salinitas 30 – 33 ppt, kandungan oksigen terlarut > 3,5 ppm dan pH 7,8 – 8,0 cocok
untuk pembenihan ikan kerapu (Setiadi dan Tridjoko, 2001; lembaga penelitian undann,
2006).
Berdasarkan kebiasaan makan ikan kerapu temasuk jenis ikan karnivora dan
makan dengan cara menggerus targetnya yaitu ikan tembang, teri dan belanak, crustacea,
dan chepalopoda, termasuk kedalam predator yang dominan dan tergolong ikan buas,
hidup soliter dan menetap (sedentary), umumnya ikan karang merupakan jenis ikan yang
menetap atau relatif tidak berpindah tempat dan pergerakannya relatif mudah dijangkau
(Utojo et al., 1999). Pada umumnya ikan karnivora mempunyai gigi untuk menyergap,
menahan dan merobek mangsa. Jari-jari insangnya berguna sebagai penahan, memegang,
memarut dan menggilas mangsa. Mempunyai lambung benar dan palsu, usus pendek,
tebal dan elastik (Efendie, 2002).
Catalano dan Allen (2010), menyatakan bahwa dalam siklus hidup spesies ikan
reproduksi dan rekruitmen merupakan hal yang sangat penting dan kritis, sebab proses ini
melibatkan perpindahan antar wilayah dan beberapa spesies melakukan migrasi ke daerah
pemijahan utama. Umumnya populasi ikan rentang terhadap dampak aktivitas
penangkapan di daerah pemijahan (spawning grownd) dan di daerah pengasuhan (nursery
ground) dimana stok induk dan juvenil melimpah didaerah tersebut.
Adapun sistematika ikan kerapu sunu menurut FAO (1974) sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Percoidea
Famili : Serranidae
Sub famili : Ephinephelinae
Genus : Plectropomus
Spesies : Plectropomus leopardus
Nama dagang : Spotted coralgrouper, spotted coraltrout, viele saintsilac, mero
con pintas, mero de coral, coral cod, jin hou, sai sing
Nama lokal : Kerapu sunu, sunuk, lodi dan tiara.
2.2. Laju Eksploitasi
Potensi penangkapan ikan tahunan sebesar 6,7 juta ton untuk keseluruhan perairan
Indonesia yang terdiri dari 2 juta ton untuk zona ekonomi ekslusif Indonesia (ZEEI) dan
4,7 juta ton bagi perairan laut toritorial (zona 12 mil laut) (Dahuri, 2002). Sumberdaya
ikan domersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh
wilayah pengelolaan, namun potensinya berbeda dari satu wilayah pengolahan perikanan
(WPP).
Sumberdaya ikan termasuk termasuk dalam sumberdaya hayati yang dapat
diperbaharui (renewable resourse), namun juga bersifat dapat rusak (depletable
resourse). Perubahan populasi ikan dipengaruhi oleh empat faktor yaitu rekruitmen,
pertumbuhan, mortalitas alami, dan mortalitas penangkapan. Dalam populasi tertutup
(closed population), dimana tidak ada emigrasi dan imigrasi, maka faktor utama yang
mempengaruhi peningkatan dari populasi hanya rekruitmen dan pertumbuhan (Sparre dan
Venema, 1999), dan pada habitat populasi yang tidak ditangkap, populasi akan tumbuh
mendekati daya dukung (carrying capacity) habitat tersebut (Sanchez, 2000).
Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur ikan. Nelayan
cenderung menangkap ikan yang berukuran besar daripada ikan yang berukuran kecil.
Akibatnya, populasi ikan akan di dominasi oleh ikan yang ukuran kecil serta mengalami
pertumbuhan yang lebih cepat dan kematagan gnad yang lebih awal (Efendie, 2002). Hal
ini sejalan dengan pendapat Sanchez (2002), bahwa penangkapan yang berlebihan pada
suatu populasi ikan akan menurunkan ukuran dan umur pada populasi tersebut.
2.3. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan
Pengelolaan sumberdaya perikanan memang dihadapkan pada suatu sistem yang
komleks dan yang timbul baik dari sistem sumber daya alam maupun interaksi antara
sistem sumberdaya alam dengan aspek manusia. Menurut Cochraine (2002), pengelolaan
sumberdaya perikanan didefinisikan sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan
informasi, analisis, perencanaan, knsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya
dan implementasi dengan penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur
aaktivitas perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumberdaya dan
pencapaian tujuan perikanan yang lain.
Keputusan pengelolaan atau eksploitasi yang dilakukan dimasa lalu akan
mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan dimasa sekarang dan dimasa yang akan
datang, demikian juga keputusan pengelolaan atau eksploitasi dimasa sekarang akan
mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan dimasa depan. Fauzi dan Anna (2005)
menyatakan bahwa tantangan untuk memelihara sumberdaya yang lestari menjadi isu
yang kompleks dalam pembangunan perikanan, meskipun sumberdaya perikanan
dikategorikan sebgai sumberdaya yang dapat pilih, pertanyaan yang sering muncul
adalah seberapa besar ikan dapat ditangkap tanpa harus menimbulkan dampak negatif
untuk masa mendatang.
Tujuan utama pengelolaan sumberdaya berkelanjutan adalah pencapaian
keuntungan secara maksimum, dengan tetapa menjaga keberlangsungan ketersediaan
sumberdaya, sebgaimana tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan untuk
memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan
kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987 dalam
Dahuri, 2002). Selanjutnya bahwa atas dasar definisi dari tujuan tersebut, pembangunan
berkelanjutan mengandung tiga unsur (dimensi) utama yang meliputi dimensi ekonomi,
ekologis, dan sosial (Harris et al., 2001 dalam Dahuri 2002).
2.3.1. Potensi Sumberdaya Kelautan dan Perikanan
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan Kabupaten Kolaka cukup besar
potensi sumber daya perikanan laut, darat maupun perikanan budidaya. Hal tersebut
didukung oleh perairan laut seluas 15.000 km² yang sepenuhnya berada dikawasan
perairan Teluk Bone dengan panjang garis pantai 295.875 km serta memiliki 13 buah
pulau kecil yaitu : P. Maniang; P. Padamarang; P. Lambasina Kecil; P. Lambasina Besar;
P. Buaya; P. Pisang; P. Lemo; P. Kukusan; P. Lamburoko; P. Campea; P. Ijo; P. Lima; P.
Batu Mandi, dengan luas keseluruhan pulau-pulau tersebut yaitu 4.384 Ha. Kondisi ini
sangat mendukung bagi pengembangan kegiatan disektor perikanan maupun sektor
lainnya. Berdasarkan pada potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Kolaka dapat
dilihat secara lengkap pada Tabel 1.
Tabel 1. Potensi Sumber Daya Perikanan dan Tingkat Pemanfaatannya di Kabupaten
Kolaka Tahun 2008.
No
Potensi Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan
Dugaan Potensi
Lestari
Tingkat Pemanfaatan
Volume %
1
2
3
4
5
Perairan Laut
Perairan Umum
Budidaya Air Payau
Budidaya Air Tawar
Budidaya Laut
37.500 ton/thn
10.000 ton/thn
8.500 Ha
6.000 Ha
7.000 Ha
19.700,7 ton
213,3 ton
4.643,36 ton
369,43 ton
27,727 ton
52,5
2,1
20,8
7,05
8,80
Sumber : DKP Kolaka, 2009
Jenis biota perairan laut yang di temukan dan banyak dimanfaatkan di Kabupaten
Kolaka meliputi jenis Ikan, yaitu ; tembang (Sardinella fimbriata), pepetek, layang
(Decapterus russelli), kembung (Rastrelliger sp), gulama, kurisi (Nemipterus sp), cucut
(Hemigaleus balfouri), pari, kerapu, kakap (Lates calcarifel), bambangan (Latjanus
sangueus), selar (Selaroides leptopis), lemuru (Sardinella longiceps), teri (Stolephorus
commersonii), cakalang (Katsuwonus pelamis), nomey (Harpodon nehereus), manyung
(Arius thalassinus), tenggiri (Scomberomorus commerson), biji nangka (Upeneus sp),
lecam, terbang (Cypsilurus poecilopterus), ekor kuning (Caesio erytrogaster), dan
bandeng (Chanos-chanos). Sedangkan jenis biota non ikan, yaitu; rajungan (Portunus
pelagicus), kepiting (Scylla serrata), udang putih (Panaeus merguensis), udang windu
(Panaeus monodon), udang barong/lobster, cumi-cumi (Loligo sp), teripang (Holothuria
sp), kerang darah (Anadara granosa), dan tiram (Saccostrea sp). Jenis biota perairan
darat/tawar, yaitu; ikan mas (Cyprinus caprio), lele (Clarias batrachus), betok (Anabas
testudineus), sepat (Trichogaster pectoralis), dan gabus (Ophiocephalus striatus).
Sementara jenis komoditi unggulan adalah; udang khususnya udang windu (Panaeus
monodon), bandeng (Chanos chanos), rumput laut (Eucheuma cottonii), teripang dan
mutiara (DKP Prov. Sultra, 2005).lebih lanjut dikatakan bahwa selain potensi-potensi
tersebut, perairan laut Kabupaten Kolaka juga memiliki potensi kelautan seperti
pariwisata bahari dan usaha-usaha perikanan lainnya yang belum dimanfaatkan secara
optimal.
Berdasarkan pada perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka Tahun
2004 – 2008 dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Produksi Perikanan Kabupaten Kolaka Tahun 2004 - 2008
No Jenis Perairan/Kegiatan
Budidaya
Produksi (ton)
2004 2005 2006 2007 2008
1
2
3
4
5
Peraira Laut
Perairan Umum
Budidaya Air Payau
Budidaya Air Tawar
Budidaya Laut
19.001,80
315,90
5.272,30
129,00
964,30
19.253,30
197,60
6.176,10
257,60
11.259,60
19.597,90
144,80
6.361,80
268,30
12.072,80
19.695,90
192,10
6.977,18
189,95
13.795,50
19.700,70
213,30
4.643,36
369,43
27.727,00
Jumlah 25.683,30 37.144,20 38.455,60 40.850,63 52.653,79
Sumber : Laporan Tahunan DKP Kolaka, 2005 – 2009
Produksi perikanan Kabupaten Kolaka untuk semua jenis perairan dan kegiatan
budidaya cenderung mengalami fluktuasi dari tahun 2004 hingga 2008. Untuk jenis
perairan laut terlihat produksinya mengalami peningkatan dari tahun ketahun, dan pada
tahun 2008 tingkat pemanfaatanya mencapai 52,5% dari dugaan potensi lestarinya
sebesar 37.500 ton/thn. Produksi perairan umum tampak mengalami fluktuasi dan
cenderung menurun, dimana produksi tertinggi dicapai pada tahun 2006 hanya sebesar
144,80 ton, tingkat pemanfaatannya pada tahun 2008 baru mencapai 2,1 % (213,30) dari
dugaan potensi lestari sebesar 10.000 ton/thn.
Produksi perikanan budidaya air payau terlihat mengalami peningkatan berturutturut
dari tahun 2004 hingga tahun 2007, namun mengalami penurunan pada tahun 2004
hingga tahun 2007, namun mengalami penurunan pada tahun 2008 dengan volume
produksi hanya sebesar 4.643,36 ton dan merupakan produksi terendah selama kurung
waktu lima tahun, tingkat pemanfaatannya pada tahun 2008 mencapai 20,8 %. Produksi
perikanan budidaya air tawar mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 2004 hingga tahun
2006 terlihat mengalami peningkatan, namun mengalami penurunan pada tahun 2007 dan
kembali meningkat pada tahun 2008 yang merupakan produksi tertinggi selama kurun
waktu lima tahun yaitu sebesar 369,43 ton dengan tingkat pemanfaatan sebesar 7,05 %.
3. PEMBAHASAN
Ikan kerapu merupakan salah satu sumberdaya perikanan yang memiliki nilai
ekonomis, ikan kerapu juga menjadi sumber pagan, pendapatan bagi nelayan dengan nilai
jual yang cukup tinggi dan merupakan salah satu komuditas perikanan yang mempunyai
peluang baik di pasar domestik dan dipasar intenasional. Indonesia tercatat sebagai
pengekspor utama ikan kerapu sunu (Johannes dan Rippen, 1995). Permintaan yang
tinggi akan ikan kerapu mengakibatkan tekanan yang cukup berat sehingga beberapa
daerah mengalami over fishing.
Potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Kolaka cukup besar karena didukung
oleh perairan laut seluas ± 15.000 km² yang memiliki banyak jenis biota perairan laut
yang ditemukan dan dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Kolaka yang
meliputi dari jenis ikan dan non ikan.
3.1. Kendala yang Dihadapi
Berdasarkan pada perkembangan produksi perikanan Kabupaten Kolaka dari
semua jenis perairan dan kegiatan budidaya selalu mengalami fluktuasi. Dimana dari
jenis perairan nilai produksinya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sedangkan
produksinya selalu mengalami penurunan.
Ikan Kerapu mempunyai sifat-sifat yang menguntungkan untuk dibudidayakan
karena pertumbuhannya cepat dan dapat diproduksi secara missal, untuk melayani
permintaan pasar ikan kerapu dalam keadaan hidup. Berkembangnya pasaran ikan kerapu
hidup karena adanya perubahan selera konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan
dalam keadaan hidup, telah mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar
ikan kerapu melalui usaha budidaya.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa ikan kerapu hidup pada perairan
tropois dan sub tropis di ekosistem terumbu karang, perairan berlumpur, dan hutan
bakau. Dimana hanya 3 genus yang memiliki nilai komersil tinggi dan berhasil
dibudidayakan (Ahmad 2002). Ikan kerapu juga merupakan komoditas ekspor yang
harganaya cukup tinggi. Bila dipandang dari oseanografinya, dimana Kabupaten Kolaka
yang diperkirakan memiliki luas perairan laut mencapai ± 15.000 km². sehingga
memungkinkan masyarakat pesisir khususnya nelayan untuk melakukan usaha budidaya,
salah satunya adalah melakukan usaha budidaya ikan kerapu dengan cara membuat
karamba sebagai tempat pembesaran dan pembenihan. Akan tetapi pengetahuan
masyarakat nelayan masih belum mengetahui tentang cara membudidayakan ikan kerapu.
Berdasarkan hal tersebut Kabupaten Kolaka dapat dikategorika sebagai
Kabupaten pesisir. Namun, pengolahan sumberdaya perikanan belum dilakukan secara
maksimal yang dilakukan oleh pemerintah dengan kurangnya pengawasan dan
pengendalian sumberdaya mengakibatkan penurunan stok ikan salah satunya adalah
budidaya ikan kerapu. Penurunan stok ikan yang ada di alam disebabkan karena
menurunnya daya dukung lingkungan karena berkurangnya sumber makanan dan habitat.
Masyarakat nelayan hanya menangkap bibit ikan kerapu dari alam dengan
menggunakan alat yang masih tradisional (bubu yang terbuat dari bamboo atau kalvanis)
kemudian disimpan begitu saja, tanpa adanya perlakuan lanjutan untuk mendapatkan
hasil yang optimal. Seiring berjalannya waktu dari tahun ke tahun, dimana tingkat
eksploitasi terhadap perairan laut meningkat dengan melakukan penangkapan yang terus
menerus tanpa memperhatikan stok ikan yang ada di alam sehingga mengakibatkan
penurunan populasi ikan kerapu karena penangkapan yang berlebihan. Masyarakat
nelayan hanya menangkap ikan yang berukuran besar daripada ikan yang berukuran
kecil, karena ikan yang berukuran besar lebih cepat masa panennya disbanding ikan yang
berukuran kecil. Akibatnya populasi ikan kerapu didominasi oleh ikan yang berukuran
kecil sehingga menurunkan populasi ikan tersebut. Belum lagi perusakan ekosistem laut
yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, dengan sengaja
melakukan perusakan ekosistem laut sehingga habitat ikan sebagai tempat untuk
berkembang biak rusak, seperti perusakan terumbu karang dengan cara menggali batu
karang untuk dijadikan bahan bangunan, belum lagi penggunaan bahan peledak,
penebangan hutan mangrove serta pencemaran industri dan rumah tangga. Apabila
kegiatan eksplotasi yang dilakukan secara terus menerus maka populasi ikan dialam akan
terancam punah tanpa adanya batasan-batasan dan pemberian sangsi terhadap orangorang
yang melakukan perusakan ekosistem dengan sengaja.
Beberapa daerah di Kabupaten Kolaka, yang sudah menjadi tempat kegiatan
pertambangan yang membangun pelabuhan-pelabuhan sebagai sarana transportasi banyak
dilakukan dengan merusak ekosistem periran laut. Penebangan hutan mangrove secara
besar-besaran dan penimbunan didaerah pesisir pantai tanpa menghiraukan kelestarian
ekosistem laut sehingga mengakibatkan habitat ikan menjadi rusak, dan ketersediaan
bibit ikan kerapu di alam menjadi menurun. Akibat keterbatasan bibit ikan kerapu yang
ada di alam, membuat nelayan kesulitan untuk mendapatkan bibit ikan kerapu yang akan
di budidayakan. Kendala lain dari keterbatasan bibit ikan kerapu di alam adalah sulitnya
mendapatkan dan mendatangkan bibit ikan kerapu dari luar Kabupaten Kolaka, karena
harga akan bibit ikan kerapu cukup mahal dan tingkat kematian yang tinggi, membuat
nelayan enggan untuk membeli dan mendatangkan bibit dari luar, sehingga pendapatan
nelayan dari hasil budidaya ikan kerapu tidak bisa mencapai hasil yang optimal karena
hanya mengharapkan bibit ikan kerapu dari alam saja.
Dampak pencemaran limbah industri dan rumah tangga yang berlebihan
mengakibatkan sedimentasi yang berdampak perusakan ekosistem dan biota laut. Tanpa
adanya penanganan terhadap pencemaran limbah industri dan rumah tangga secara
intensif sebagai upaya untuk mencegah dan meminimalkan tingkat pencemaran terhadap
perairan laut. Hal ini juga berdampak terhadap masyarakat nelayan yang melakukan
usaha budidaya ikan kerapu yang dulunya mencari bibit ikan kerapu di sekitaran pantai,
akibat dari limbah tersebut nelayan sulit untuk mendapatkan bibit ikan kerapu
mengharuskan nelayan keluar dari pesisir pantai untuk mendapatka bibit ikan kerapu.
Dampak lain dari pencemaran limbah pabrik dan rumah tangga adalah lokasi budidaya
yang dulunya dekat dengan pemukiman dan pasar sekarang menjadi jauh dari
pemukiman dan pasar sehingga biaya operasional meningkat dan mengalami kesulitan
untuk menjual hasil pada saat panen.
3.2. Aspek Sosial Ekonomi dan Aspek Teknis
Dilihat dari aspek sosial ekonomi usaha budidaya ikan kerapu seharusnya
menguntungkan tanpa merusak lingkungan sekitarnya. Walaupun dalam usaha budidaya
ikan kerapu menguntungkan namun harus menjaga agar masyarakat sekitar tidak merasa
dirugikan dengan adanya kegiatan budidaya kerapu ini. Untuk itu beberapa aspek sosial
ekonomi yang perlu diperhatikan adalah pemilihan lokasi dimana pemilihan lokasi untuk
budidaya ikan kerapu merupakan langkah awal untuk menentukan keberhasilah budidaya.
Hal yang harus dilakukan dalam pemilihan lokasi yaitu, dekat dengan sumber benih
karena akan memudahkan untuk mendapatkan benih dan biaya transportasi dapat di
tekan, dekat dengan daerah pemasaran yang merupakan langkah akhir dalam usaha
budidaya ikan kerapu, dekat dengan daerah penangkapan ikan agar memudahkan dalam
penyediaan ikan rucah untuk pakannya dan yang paling utama adalah dekat dengan
perkampungan atau pemukiman karena berhubungan dengan segala sesuatu yang
memudahkan dalam kegiatan budidaya.
Dilihat dari aspek teknisnya ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dari
aspek teknis kelayakan dalam pemilihan lokasi budidaya ikan kerapu adalah faktor fisik,
kualitas air, dan biologi. Dimana faktor fisik harus terlindung dari pengaruh dari angin
dan ombak yang kuat. Selanjutnya kualitas air harus optimal yang dapat dilihat suhu,
salinitas dan pH. Dan faktor yang terakhir adalah faktor biologi dimana tidak terdapat
hewan-hewan yang menempel atau organisme pengganggu, dan tidak banyak terdapat
hewan-hewan predator.
3.3. Solusi
Untuk memenuhi permintaan pasar yang sangat tinggi terhadap ikan kerapu, maka
hal yang harus dilakukan adalah melakukan usaha budidaya atau akuakultur terhadap
ikan kerapu dengan cara mengembangkan usaha pembenihan dengan mendatangkan bibit
dari luar Kabupaten Kolaka untuk mendapatkan hasil yang optimal sehingga permintaan
pasar dapat terpenuhi. Sebagai langkah awal yang harus dilakukan dalam upaya
mengembangkan usaha pembenihan adalah membuat sebuah karamba sebagai wadah
penampungan bibit ikan kerapu baik yang diperoleh dari alam ataupun yang didatangkan
dari luar Kabupaten Kolaka. Kemudian melakuakan pemijahan ikan kerapu secara buatan
maupun secara alami untuk menghasilkan bibit sendiri tanpa mendatangkan lagi dari luar
Kabupaten Kolaka dan stok bibit ikan kerapu di alam akan tetap lestari karena
berkurangnya penangkapan bibit dari alam itu sendiri.
Sebagai awal untuk melestarikan potensi laut yang ada di peraikan Kabupaten
Kolaka hendaknya melakukan pembersihan sampah-sampah organik yang ada dipesisir
pantai sehingga bisa mengurangi dampak pencemaran, karena banyak yang beranggapan
bahwa laut adalah tempat terakhir yang cocok untuk pembuangan sampah dan limbah
yang dibuat dan di hasilkan oleh manusia, pandangan lain juga mengatakan bahwa stokstok
perikanan yang ada di perairan laut tidak berkurang dan beranggapan bahwa volume
lautan di dunia yang sangat luas mempunyai kemampuan yang tidak terbatas untuk
menyerap semua sampah-sampah yang dihasilkan. Bentuk lain dari pelestarian perairan
laut adalah dengan melakukan penghijauan didaerah pesisir pantai seperti melakukan
penanaman bakau, dimana bakau sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya organisme,
sebagai tempat mencari makan untuk ikan yang akan memijah.
Perlunya ketegasan dan pengawasan pemerintah terhadap penyalahgunaan dan
pengrusakan ekosistem perairan laut yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab, memberikan sangsi bagi yang melanggar dan membuat kawasan
konservasi agar kelestarian sumberdaya perikanan akan terus berkesinambungan.
Peranan pemerintah dan dinas terkait, khususnya dinas perikanan juga sangatlah
penting dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat pesisir (nelayan) dengan
melihat potensi yang sangat besar di bidang perikanan. Seharusnya pemerintah
melakukan restoking agar ketersediaan bibit ikan kerapu di alam tidak mengalami
penurunan dan pemberikan pembelajaran dengan cara memberikan pelatihan kepada
nelayan bagaimana cara membudidayakan ikan kerapu baik dengan menggunakan
karamba tancap atau karamba jaring apung (KJA). Sehingga, dalam usaha budidaya ikan
kerapu yang dimulai dari pembenihan hingga pembesaran ini dapat mensejahterakan
masyarakat pesisir, kususnya nelayan. Dan upaya lain yang harus dilakukan oleh
pemerintah adalah menciptakan teknologi Budidaya yang efektif, efisien dan mudah di
adopsi oleh masyarakat nelayan.
Keberhasilan pengembangan teknologi diharapkan bisa memberikan alternatif
lain sebagai mata pencaharian nelayan. Dengan demikian akan ada penurunan tingkat
persentase masyarakat miskin (nelayan) dan ujung-ujungnya juga bisa memberikan
konstribusi pada pemerintah daerah serta peningkatan nilai ekspor non migas. Lebih dari
itu juga diharapkan bisa menyediakan bibit sendiri dan menyuplainya ke nelayan lain
yang juga ingin melakukan atau membudidayakan ikan kerapu tersebut.
3.4. Metode Pemeliharaan Ikan Kerapu
Metode yang digunakan dalam membudidayakan ikan kerapu yaitu dengan
menggunakan karamba tancap maupun karamba jaring apung (KJA). Sebelum melakukan
pemeliharaan ikan kerapu ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :
1. Pengadaan benih ikan kerapu dimana benih ikankerapu bisa dari pembenihan
(hatchery) ikan kerapu maupun dari hasil penangkapan dari alam.
2. Penebaran benih yang perlu diperhatikan adalah keseragaman ukuruan sehingga
menhindari saling memangsa. Sedangkan padat penebarannya adalah tergantung dari
luas karamba yang dibuat.
3. Pemberian pakan pada ikan kerapu harus teratur karena ikan kerapu termasuk ikan
yang bersifat kanibal, untuk menghidarinya maka makanan yang diberikan harus
cukup dimana makan tersebut berupa ikan rucah yang terdiri dari ikan-ikan kecil
ataupun ikan yang memiliki nilai ekonomis yang rendah.
4. Panen yang diharapkan adalah pencapaian hasil yang maksimal apabaila peryaratan
dan faktor-faktor yang terpenuhi sperti pemilihan lokasi yang tepat, padat tebar yang
optimal, mutu pakan, jumlah pemberikan pakan optimal serta pengolahan dan
perawatan karamba serta dan penanggulangan penyakit dijalankan dengan benar.
Sehingga pada saat panen bisa mencapai target yang diinginkan.
4. PENUTUP
4.1.Kesimpulan
1. Melihat dari luas perairan laut Kabupaten Kolaka mencapai ± 15.000 km²,
memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan perekonomian masyarakat pesisir
(nelayan).
2. Potensi ikan kerapu di Kabupaten Kolaka terancam punah diakibatkan eksploitasi
yang berlebihan dan penangkapan bibit ikan kerapu secara terus menerus, serta
pengrusakan ekosistem akibat pencemaran.
3. Upaya yang dilakukan untuk pelestarian ikan kerapu adalah melakukan memijahkan
ikan kerapu secara buatan ataupun dengan cara alami dan membuat lahan konservasi.
4. Mendatangkan bibit ikan kerapu dari luar Kabupaten Kolaka sebagai upaya untuk
mengoptimalkan permintaan pasar agar dapat terpenuhi.
5. Menciptakan teknologi budidaya yang efektif, efisien yang mudah diterima oleh
masyarakat pesisir (nelayan).
6. Keberhasilan pengembangan teknologi bisa memberikan alternative kepada
masyarakat nelayan untuk meningkatkan perekonomian baik masyarakat pesisir
(nelayan) itu sendiri maupun pemerintah daerah Kabupaten Kolaka.
7. Peranan pemerintah untuk member pengajaran kepada nelayan dan pengawasan
terhadap ekosistem perairan laut.
8. Mengoptimalkan pemberian bantuan kepada masyarakat nelayan sebagai upaya untuk
meningkatkan perekonomian nelayan dan daerah.
9. Untuk memenuhi permintaan pasar akan ikan kerapu diperlukan campur tangan
pemerintah, mensosialisasikan bagaimana cara membudidayakan dan
mengembangkan usaha pembenihan ikan kerapu.
10. Membersihkan sampah-sampah dan meminimalkan tingkat pencemaran yang ada
diperairan laut merupakan langkah awal untuk melestarikan ekosistem perairan laut
dan jangan beranggapan bahwa laut adalah tempat pembuangan sampah.
4.2.Saran
1. Pemerintah sebaiknya melakukan restoking untuk menekan tingkat penurunan
populasi ikan kerapu.
2. Memberikan pelatihan kepada masyarakat nelayan, bagaimana cara melakukan
budidaya ikan kerapu baik dengan menggunakan karamba tancap atau karamba jaring
apung (KJA).
3. Memberikan bibit ikan kerapu secara cuma-cuma sebagai awal untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat nelayan.
4. Pemberian dan Penerapan teknologi baru yang mudah diadopsi oleh masyarakat
pesisir.
5. Untuk mencegah terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas
industri dan aktivitas manusia, maka diperlukan pengendalian terhadap pencemaran
lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan
6. Melakukan gerakan pembersihan pantai secara berkala untuk mengurangi
penumpukan sampah
7. Perlunya pengawasann dan perhatian pemerintah terhadap penyalah gunaan
sumberdaya perikanan.
8. Melakukan penghijauan di daerah pesisir pantai sebagai pelestarian perairan laut.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad T. 2002. Mariculture and Bio-Product in Coastal Ecosistem Proceedings
Workshop on Mariculture in Indonesia. Mataram Lombok
Akbar S dan Sudaryanto, 2000. Pembenihan dan pembesaran kerapu bebek.
Cetaka I. Jakarta : PT. Penebar Swadaya.
Catalano MJ, Allen MS. 2010. Size-ang-age-structured model to estimate
fishrecruitment, grouth, mortality, and gear selectivity. Fisheries Research. (105):
38-45
Cochraine KL. 2002. A fishery manager’s Guide Book. Management Measures and Their
Application. Rome : FAO Fisheries Technical Paper. No. 424. 231 pp
Dahuri R. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor
Perikanan dan Kelautan. Lembaga Informasi dan Studi Pembagunan Indonesia.
LISPI. Jakarta
Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Country status Overview 2001 : Eksploitasi
dan Perdagangan dalam Perikana Karang di Indonesia. Jakarta
DKP Kabupaten Kolaka. 2005. Laporan Tahunan 2004
DKP Kabupaten Kolaka 2008. Laporan Tahunan 2007
DKP Provinsi Sulawesi Tenggara. 2009. Zonasi rencana kawasan konservasi dan
kawasan pengembangan pesisir di Kabupaten Kolaka.
Effendie MI.2002. Biologi Perikanan. Edisi Revisi. Pustaka Nusa Tama. Yogyakarta.
161p
Elevati M, Aditya TW. 2001. Biologi Kerapu. Lampung : Balai Budidaya Laut
Lampung. Departemen Kelautan dan Perikanan
Fauzi A, Anna S 2005. Pemodelan dan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk
Analisis Kebijakan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Lucero MOA, Sanchez FA. 2009. Modeling the spatial distribution of red grouper
(Epinephelus morio) at Camphece Bank Mexico, with respect substrate.
Ecological Modelling (220) : 2744-2750
Sanchez FA. 2000. Octopus-red grouper interaction in the exploited ecosystem of the
nortern continental shelf of Yucatan, Meico. Ecological Modelling. (129): 119-
129
Sari YD. 2006. Interaksi optimal perikanan tangkap dan budidaya (Studi kasusmperikan
kerapu di Perairan Kepulauan Seribu Provinsi DKI Jakarta). Tesis Institut
Pertanian Bogor
Setiadi E, Tridjoko. 2001. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan, sintasan dan laju
pemangsaan larva kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Teknologi
Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen
Kelautan dan Perikanan. Jakarta
Soede CP, Machiels MAM, Stam MA , Densen WLT. 1999. Trends in an Indonesia
coastal fishery based on catch and effort statistics and implication for the
perception of the state of the stocks by fisheries officials. Fisheries Research.
(42): 41-56
Tampubolon GH dan Mulyadi E. 1989. Sinopsis ikan keparu di Perairan Indonesia.
Balitbangkan. Semarang
22